Cerpen : Ada Ailen di Desa

#SakinahMenulis-Aku masih berjalan di pekatnya guyuran hujan. Kakiku yang terbungkus kets semakin terasa panas dan berdenyut. Mataku menangkap siluet cahaya di utara. “Perkampungan!”, batinku gembira. Cukup jauh juga aku melangkah kesana, kira-kira dua ratus meter dari tempatku sekarang. Dengan berusaha sekuat tenaga, kucoba meredam gemeletuk gerahamku dan gigil di sekujur tubuhku. Dingin sekali malam ini. Kuhampiri pondok kecil terdekat yang pertama kali kutemui cahaya petromaksnya. Aku beruntung, sebuah dipan teronggok di teras. Meski hanya bilah-bilah aur yang disusun memanjang, aku sangat mensyukuri itu. Cepat-cepat kunaikkan koperku ke atasnya, akupun meringkuk dalam gigil, letih dan kantuk.

Suara cicit burung gereja berputar-putar di atas kepalaku. Kurasakan tubuhku bergoyang-goyang setiap kali kudengar cicitnya. Hampir saja aku terjatuh dari dipan itu. Seorang anak laki-laki berambut ikal menatapku curiga. Ia mengguncang bahuku. “Non, kenapa tidur di luar?” tanyanya sembari mempersilakan aku masuk dan mengangkat koperku ke dalam.

Aku sudah selesai membersihkan diri seadanya, kini aku duduk menikmati sarapanku, segelas teh manis panas. Kakiku kulipat dan aku duduk di dipan kayu itu bermalasan. Kuraba dahiku, aku demam. Pasti masuk angin akibat kehujanan dan tidur di luar tadi malam. Seorang remaja bertubuh jangkung -yang seingatku dipanggil Nu itu- terus menatapku. Disodorinya aku sepiring katela rebus dan irisan gula aren. Aku melahapnya dengan rakus, licin, tandas. Sebab dari kemarin tidak sebutir makanan pun masuk ke perutku.

“Gimana kampungnya, Non?” Wanita berdaster biru tua muncul dari dalam dan menyambutku hangat. Aku menyapanya dengan mencium punggung tangannya. Dia adalah si Mbok, Ibu remaja lelaki yang menyapaku pagi ini. Kami berbincang lama tentang aku dan keluargaku. Sebalnya, Dad ternyata telah mengatur  liburan ini jauh sebelumnya. Pantas saja sopir taksi yang mengantarku dari terminal, tidak terlalu bawel untuk mengantarkan aku hingga tiba di ujung desa.

Siang ini, udara gerah. Aku menghidupkan kipas angin kecil yang kemarin sengaja kuselipkan di koper, untuk berjaga-jaga apabila cuaca terlalu gerah. Hm... antisipasiku terbukti ampuh kan? Aku pun berselonjor di atas dipan halaman depan dengan santai. Si Mbok telah kembali berangkat ke ladang.  Cowok ikal itu tersenyum geli melihatku.

“Jauh-jauh dari Medan cuma buat kipas-kipas ya Non,” ledeknya. Aku mengeram, memelototinya.

“Kenalkan, saya Banu”, katanya sambil mengulurkan tangan. Aku menyambutnya malas.

“Aku Ai. Ailen”, jawabku pendek.

“Hah, alien???” Spontan anak itu terpingkal-pingkal menunjuk hidungku.

“A-I-L-E-N. Ailen Danas Cleopatra! Tahu nggak!”. Aku mulai terbakar emosi. Enak saja cowok kampung ini menertawakan namaku. Dasar orang udik, nggak pernah dengar nama bagus, rutukku dalam hati.

“Maaf ya Non”, katanya lagi dengan nada terpingkal.

“Kamu nggak pernah dengar nama bagus ya!”, sindirku sinis.

“Tapi nama Non itu memang aneh”, sambungnya.

“Ailen itu bahasa Latin, artinya cahaya!” Aku menjelaskan dengan nada suara Dad yang menggurui.

“Oh, kalau begitu sama Non!. Namaku Banu bahasa Kawi, artinya sinar, cahaya, terang.. gitu lah Non.” Seenaknya saja anak itu menyetarakan nama kami. Dasar!


www.kinamariz.com -Image Source : Wardaorganic.com-
Dia mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kampungnya yang luas dan sangat asri. Di wilayah timur laut dari kampungnya, ada sungai kecil yang berair bening, tempat orang-orang mengail ikan dan memandikan ternaknya dari ladang. Kami memunguti beberapa biji kenari untuk melempari monyet-monyet lucu yang bergelayutan di pepohonan seberang aliran sungai. Sesekali Banu mengajakku ke ladangnya, tempat Mbok menuai padi dan memanennya bersama-sama penduduk yang lain. Namun karena udara cerah, Mbok melarang kami menemuinya di ladang. Alasannya karena miang dari kulit padi yang telah digiling menjadi beras itu, bisa saja terbang terbawa angin dan melekat di kulit-kulit kami. Kulitku yang sensitif akan cepat terasa gatal-gatal, parahnya juga bisa iritasi. Padahal di awal musim panen begini, banyak belalang yang beterbangan di sepanjang areal persawahan. Tak sedikit pula anak-anak kecil bermain tangkap belalang disini.

“Huh, cowok ini benar-benar udik, menyebalkan!”, gerutuku. Aku berjalan terseok-seok mengikuti si Banu yang sudah berlari-lari di depan dengan jaringnya.

“Aku mau nangkap belalang Ai, nanti aku buatin menu spesial buat kamu, kita makan belalang bakar istimewa!” serunya dengan wajah riang. What’s? Apa? Aku disuruh makan belalang? Ogah deh!!! Kaya’ kekurangan bahan makanan aja! Lagian, ngapain juga repot-repot nangkap insecta aneh ini, sekedar mendapat protein yang tak seberapa tinggi kadarnya. Mending langsung aja nelpon restoran siap saji, pesan fillet of fish rendah lemak atau salmon segar yang udah di panggang. Hm, praktis kan? Tapi tiba-tiba aku tersadar, mana ada restoran disini. Aarghh... Batinku mengomel tak henti-hentinya. Dengan kesal kulempar jaringku rerumputan di depanku, padahal langkah Banu hampir bisa kususul.

“Banu..! Aku capek, bosan. Kamu jalan aja sendiri, aku mau pulang!”, teriakku kesal.

“Ya sudah, tapi dirumah nggak ada siapa-siapa tuh!”, dia balas berteriak.

“Aku nggak takut”, jawabku lagi. Ternyata benar kata Mom, aku tidak mungkin bisa beradaptasi disini. Fasilitasnya yang serba minim dan kewajiban untuk selalu hidup mandiri membuatku terpaksa harus berfikir ulang, apakah ini pantas disebut liburan? Huh, kenapa aku gak ikutin saran Sarah, teman sekelasku yang hobinya jalan keluar negeri! Seandainya aku minta sama Mom, pasti saat ini aku udah santai-santai di Dubai. Shopping parfum, jalan-jalan keliling kota dengan limosin mewah plus icip-icip seafood segar yang asli dari laut. Bukannya menghabiskan waktu di desa kecil yang banyak jangkriknya kaya gini. Entah setan apa yang merasukiku sampai aku bisa nekat menghabiskan waktu liburanku yang berharga di desa terpencil bersama cowok culun, si Banu.

Aku sudah berada di rumah Banu. Benar, tidak ada si Mbok. Aku duduk di beranda sembari memijit-mijit kakiku yang sakit akibat mengayuh sepeda butut Banu yang sebentar-sebentar copot rantainya. Tiba-tiba Banu muncul dari halaman samping membawakan sepiring belalang bakar yang harum dan dua batang tebu cina, disebut begitu karena ini jenis tebu yang batangnya besar, kulitnya berwarna kuning, rasanya manis dan batangnya lebih lembut dari tebu biasa.

“Mau?” katanya dengan senyum tulus.

“Ogah” jawabku cepat. Aku memang lapar dan haus, tapi setidaknya aku masih punya harga diri untuk menolak makanan aneh itu.

“Kenapa? Jijik ya?” katanya sambil melahap tebu itu setelah mengupasnya bersih.

“Bukan, gak biasa aja...” tolakku tegas.

“Ini makanan yang disediakan oleh alam, asli dari alam. Enak lho Non, kalau gak mau nanti kamu rugi sendiri. Di kotamu, mana ada makanan dari alam” balasnya sambil memamerkan sebaskom tebu cina dan belalang bakarnya yang hangus.

“Baiklah, akan kucoba” akhirnya aku menyerah setelah Banu dengan gayanya yang kocak menyuapkan sedikit tebu manis itu ke mulutku.


www.kinamariz.com -Image Source : davidgibbeson.com-
Hampir dua minggu aku meninggalkan rumah dan setiap malam aku harus menelepon Mom and Dad. Payah, Banu terus-terusan meledekku dan mengatakan aku anak manja. Padahal aku cuma sedikit mengeluh, soal kulit putihku yang mulai berubah kecoklatan dan rambutku sedikit kering. Kurasa aku badanku juga bertambah gemuk. Bertambah kuat. Gawat nih kalau lama-lama disini, bisa-bisa pulangnya aku mirip Queen Latifa. Hiyy... aku bergidik seram.

Malam ini, insomniaku kumat lagi. Aku tidak bisa tidur nyenyak disini, dengung suara  jangkrik dan desau angin yang berhembus dibalik dinding bambu itu membuatku semakin rindu pada Mom dan Dad. Aku keluar, menyambar selimut, lalu beringsut ke dipan luar yang diterangi cahaya petromaks. Laron dan serangga-serangga kecil hinggap dan mengitari petromaks itu dengan suka cita. Sesekali angin dingin menghembus tubuhku, aku memang rindu pulang, tapi juga suka tinggal disini.

“Orang kota kok hobi melamun ya?” tiba-tiba Banu muncul di sampingku dengan sarung yang menggulung tubuh jangkungnya. Wajahnya yang teduh dan periang selalu membuyarkan marahku. Banu anak yang simple. Dia temanku yang bisa menerima aku apa adanya, dan tidak pernah menyerah untuk menghiburku. Walaupun sesekali dia terlihat konyol dengan lawakan-lawakan garingnya, tapi jujur, aku menikmati itu. Mungkin, aku akan merindukan Banu apabila aku pulang nanti. Upss, apa yang aku pikirkan!

“Kenapa, Ai? ” tanyanya prihatin.

“Besok pagi Mom and Dad harus  jemput aku”, sahutku cemberut.

”Kamu kan masih punya waktu seminggu lagi”, Banu berusaha menghiburku.

Tapi..”, aku belum selesai mengucapkan kalimatku, sekejap Banu terkekeh. “Kamu gak betah disini ya?” ledeknya.

“Tentu saja! Mana mungkin aku betah tinggal di hutan rimba kaya’ gini, udah banyak nyamuk, banyak jangkrik, banyak ular lagi. Serem tahu!” aku meneriakkan kalimatku keras-keras ke arah Banu. Wajahnya tiba-tiba memucat. Kesedihan terpancar di matanya membendung tangis. Spontan kututup mulutku. Aku menyesal telah mengatakannya.

Maaf. Hei, aku cuma bercanda.” kataku lagi. Banu tetap diam tak bergeming. Aku mendorong bahunya. "Sejujurnya, aku takut berubah jadi jelek. Lihat saja timbanganku pasti naik, kulitku juga tambah hitam, rambutku udah kering mirip ijuk, aku kan malu sama teman-temanku di sekolah nanti,” kuutarakan alasanku dengan lirih.

Huh, akhirnya aku harus mengakui itu pada Banu. Spontan dia menoleh sambil melemparkan senyum tipis. Matanya yang bening dan hangat itu menubruk mataku. Serr.. jantungku memompa darah tiga kali lebih cepat dari biasanya. Tatapan Banu begitu lekat dan fokus ke mataku. Aku hampir tidak bisa bernafas. Wajahku memerah seperti kepiting rebus. Sial, kenapa aku harus mengatakan itu. Aku mengomel dalam hati.

"Tidak penting Ai. Bagiku bagaimanapun kamu tetap cantik.” Banu menjawab pengakuanku dengan suara yang lebih lirih dari suaraku. Dia membuang tatapannya dariku, sekilas kulihat wajahnya juga memerah. Baru kusadari, ternyata wajah Banu lumayan juga, tak kalah ganteng dengan Mario kapten Basket di SMAk.

"Lagipula lading yang kamu sebut hutan rimba ini tidak akan ada lagi Ai...” balasnya cepat.

"Maksudmu?” aku keheranan.

"Seminggu lagi, mesin-mesin berat itu akan tiba. Kabarnya, disini akan dibangun sebuah pabrik besar untuk pembuatan kertas. Pengusaha asing itu pintar sekali mengusir kami perlahan dari sini. Tidak akan ada lagi hutan dan ladang tempat kami hidup. Tapi, siapa peduli pada kami, aku dan Mbok tidak bisa berbuat banyak. Desa ini akan berubah, Ailen,” tandasnya.

Tiba-tiba aku merasa aneh, ketika Banu menyebut nama depanku dengan lengkap. Seperti mendengar nama makhluk luar angkasa, alien. “Desa ini akan berubah Ailen” suara itu terus menggema dalam kepalaku.


***

Tin...Tin.. Klakson mobil Dad menyeringai dari luar. Setelah Pak Mus, sopirku mengangkut koper dan barang-barangku ke bagasi, aku menghampiri Mbok. Kurasakan hangat membulir di pipinya saat kupeluk dia erat seperti memeluk Mom. Dia menasehatiku dengan bahasa daerahnya sambil sesekali menyeka airmata. Aku tersenyum bingung. Banu terpingkal menangkap ekspresiku. Terakhir aku menyalami Banu. Terus terang, ini momen yang paling berat. Kami sudah sangat akrab, meski cuma dua minggu. Aku pasti sangat merindukan Banu. Kami berjabat tangan, menepuk bahu lalu saling mengepalkan tinju. Kulihat Dad tersenyum bangga, sementara Pak Mus hanya beristighfar. Kami tertawa melihatnya.

Assalamu’alaikum”, teriakku sambil melambaikan tangan dari dalam mobil.

“Wa’alaikumsalam” balas mereka kompak. Kulihat Banu mengejar mobil Dad dari belakang.

“Jangan lupa Ai..!” teriaknya.

“Pasti!!” Jawabku seraya mendongak keluar, mengibaskan jemariku. Mobil Dad pun melaju melintasi jalanan yang kemarin sering kulintasi bersama Banu dan.sepeda bututnya. Ah, kurasa aku seperti baru terjaga dari mimpi yang unik.

“Baguskan Ai?” tanya Mom dan Dad serentak dari kursi depan. Aku menatap mereka bingung. “Desa ini…” sahut Dad cepat.

“Tentu saja Dad, disini masih sangat asri dan hutannya masih rimbun.  Aku juga sempat memancing di sungai jernih yang banyak ikannya, disitu... ” aku terus bercerita panjang lebar hingga aku tertidur pulas di mobil.

Kami tiba di rumah malam hari. Mom memapahku keluar dari mobil. Antara kantuk dan lelah, aku melihat Dad sedang melayani tamu-tamunya dengan sangat ramah. Dad memang seorang pejabat negara yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Terbukti, pada akhir pekan seperti ini Dad masih saja mengurus pekerjaannya. Padahal Dad pasti sangat letih dan ingin segera beristirahat, sepertiku. Tamu-tamu itu baru pulang setelah kulihat Dad menandatangani berkas-berkas mereka. Dad tersenyum memeluk aku dan Mom.

“Ailen sayang, sebentar lagi desa udik itu akan maju dan otonom. Masyarakatnya akan makmur dan cerdas. Dad sudah menyetujui mereka untuk membuka lahan disana. Mereka akan mendirikan pabrik besar disana. Ah, akhirnya Dad bisa berbuat juga demi negara ini…” Dad mengusap kepalaku bangga.

Aku hanya terdiam menggigit tali jaketku. Di saku jaketku, masih terselip surat permohonan warga desa untuk tidak membongkar hutan dan mengusir mereka. Banu yang memintaku untuk mengantarkan surat itu ke salah satu pejabat pemerintahan di DPR. Tak kusangka, orang itu Dad.

KSI Medan,  2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)

1 comment

  1. Hai cerpen ini kutulis nyaris 14 tahun yang lalu. Jika ada hal-hal yang dirasa kurang, mohon dimaafkan yah, hehe

    ReplyDelete

Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.

Literasi Digital