www.kinamariz.com -Image Source : Pxhere.com- |
#SakinahMenulis-Malam itu, aku baru saja pulang dari les balet.
Biasanya, Opa yang menjemputku dari tempat les, namun karena malam itu sepeda
motor Opa rusak, aku terpaksa harus naik angkutan umum. Rute angkutan umum untuk menuju ke
rumahku berada di seberang jalan dari tempat les. Biasanya, aku tidak perlu repot-repot menyetop
angkutan itu di halte bis, cukup menyetopnya di tepi jalan, mobil angkutan itu
akan berhenti dimana saja untuk menaikkan dan menurunkan penumpangnya.
Sudah satu jam lebih aku menanti di pinggir jalan
raya, angkutan lain yang rutenya sama sekali tidak melintasi jalan rumahku
muncul satu-satu. Aku mulai panik. Jam tangan digitalku sudah mengedipkan angka
23.55 Wib. Gawat! Oma pasti akan menyambutku dengan repetan panjang.
Kurogoh
saku trainingku, mencari-cari selulerku. Semoga saja aku bisa menghubungi seseorang yang bisa mengantarkan aku
pulang. Hup, aku mendapatkannya. Dengan lincah jemariku mulai menekan keypad dan menuliskan pesan singkat pada
nomor-nomor yang akrab kuhubungi, tiba-tiba aku ingat selulerku mati. Sial, baterainya
kosong. Sudah dua hari aku lupa menchargenya.
Tidak ada jalan, aku mesti pulang sendiri.
Jantungku
berdegup lebih cepat dari biasanya. Angin malam yang dingin dan beku mulai
menusuk-nusuk kulit. Aku berjalan pelan-pelan menyusuri rute angkutan yang
melintasi rumah, mungkin saja aku bisa menemui taksi, beca motor, atau angkutan
lain yang bisa membawaku pulang.
Jalanan
semakin sepi. Toko-toko dan
warung-warung kecil sudah banyak yang tutup. Hanya pohon-pohon sepanjang areal
jalan yang bergoyang-goyang di tiup angin malam mengusik sedikit ketenangan
malam. Dua orang pemuda petugas ronda keliling, sesekali memukul-mukulkan
pentungannya, pertanda malam sudah semakin larut. Sepatuku kubuka, kakiku sudah melepuh untuk dibawa berjalan. Kubiarkan saja aspal jalanan itu menggigiti
telapak kakiku bersama debu-debu yang halus dan dingin. Di salah satu sudut
jalan, aku duduk mengistirahatkan kaki. Aku menggigit tali jaketku kuat-kuat, meredam
rasa takut. Anak perempuan sepertiku,
duduk sendirian terkatung-katung menanti angkutan yang belum jelas
keberadaannya, tengah malam pula!
Kukuatkan
hatiku untuk berjalan selekas mungkin hingga tiba di rumah. Pandanganku
terbentur pada sekerumunan wanita muda yang tiba-tiba menghambur dari sebuah
gang kecil. Semerbak parfum murahan yang menguar di balik backlessnya yang hampir transparan membuatku semakin merinding. Aku
memasukkan sepatuku ke dalam ransel dan buru-buru berjalan sambil terus merapal
do’a. Beberapa wanita itu melihatku dan sebagian malah tertawa cekikikan.
“Dik,
sini!” desis seorang wanita dari balik pohon. Astaghfirullah, hampir saja
mataku melompat kaget mendengar panggilannya. Wanita berambut sebahu itu
menyetop langkahku saat kerumunan wanita muda berpakaian seksi itu mulai
menjauh di ujung jalan sana. Dari sorot lampu jalan yang terang, dapat
kutangkap warna pakaiannya. Wanita kurus itu mengenakan jins denim biru muda
dan kaus hitam longgar. Wajahnya pucat dan tulang pipinya tirus. Dengan gugup
dia menatapku dan menyuruhku untuk mendengarkan perintahnya.
“Adik
kecil, maukah kamu menolongku? Aku tidak punya banyak waktu dan pilihan.
Kamulah anak yang di utus Tuhan untuk menyelamatkan aku. Tolonglah aku adik
kecil. Aku ingin menjadi manusia, walau hanya sebantar saja,” ucapnya
setengah terisak. Bola matanya yang bening dan indah itu mulai berair.
Kubiarkan dia meluapkan emosinya, aku berdiri mematung sambil memperhatikan
sekeliling dan tetap waspada. Aku benar-benar tidak mengerti arah
pembicaraannya. Dalam hati, aku berdo’a sekuat-kuatnya agar
mendapatkan perlindungan dari Tuhan. Tidak ada kekuatan lain yang bisa
kuharapkan kecuali Tuhan.
Selama ini, aku sering mendengar cerita-cerita mistis dari Oma
yang acap
kali menjadi bahan obrolan ibu-ibu di beranda rumahnya. Kota kecil kami memang
pantas untuk dijadikan lokasi cerita mistis, sebab masih banyak hutan-hutan
kecil dan areal perkebunan yang luas di sebelah selatan yang membatasi wilayah
kota dengan wilayah kabupaten. Ceritanya beragam,
misalnya tentang hantu
perempuan di pohon Beringin di samping sekolahku. Hantu yang biasanya muncul
dari balik-balik nisan di perkuburan. Hantu di Jembatan Layang. Hantu di Rumah
sakit. Hantu di kamar mandi Mall. Hantu di gerbong kereta api. Hantu, hantu,
hantu... Ah! Saat ini aku sudah terlalu panik untuk mengklasifikasikan jenis
hantu apa pula yang sedang kuhadapi ini.
Nafasku
mulai tercekat di kerongkongan, aku semakin sulit untuk berbicara. Hafalan
ayat-ayat suci yang sedari tadi kubaca semakin tak karuan. Diam-diam aku
memperhatikan kakinya, apakah menyentuh bumi atau melayang. Oh, Tuhan. Aku
pasti tidak sanggup menjerit lagi seandainya kudapati kakinya melayang-layang
di bumi. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin sekali pipis.
Aku
menarik nafas lega setelah melihat kakinya yang terbungkus sepatu Lars hitam
berdiri kokoh menginjak bumi. Dia menyelesaikan tangisnya yang lirih, lalu
secepat kilat menggenggam tanganku yang pucat dan dingin.
www.kinamariz.com -Image Source : Aprilnewmanphoto.com- |
“Kumohon...”
pintanya lagi. Kuberanikan diri untuk menjawabnya.
“Kak,
Dini enggak mengerti apa maksud
kakak. Dini mau pulang kak. Tolong jangan ganggu Dini.” Aku berkelit dari
genggamannya dan buru-buru meninggalkannya. Lagi-lagi dia menahan langkahku.
“Tolong,
bawalah anakku. Selamatkan dia kemanapun kau pergi. Aku ini seorang pelacur, Dik.
Hidup dan ragaku untuk diperjual-belikan. Kalaupun anakku lahir, itu juga bukan
milikku. Tolong, selamatkan dia...” dengan sigap,
dia mengambil sesuatu yang ditimangnya sedari tadi di balik pohon besar itu. Orok yang masih sangat muda dan harum. Kulitnya masih memerah dan kelopak matanya belum
dapat terbuka sepenuhnya, bayi yang masih sangat muda.
Bayi itu dibungkus dengan kain batik halus yang tebal dan hangat.
Berulang-ulang dia mendekap dan menciumi anaknya itu dengan lembut, seolah esok
dia tak akan menemui anaknya lagi.
Dunia pelacuran kurasa bukanlah hal yang tabu dan aneh
lagi, akan tetapi bagaimana dengan penjualan bayi? Pernah kudengar berita
tentang penjualan orok bayi yang baru dilahirkan, sup bayi untuk kesehatan dan
vitalitas pria di Negara X. Malahan di negara tersebut, kerena padatnya jumlah
penduduknya dan maraknya kasus aborsi, bayi-bayi itu telah menjadi bisnis
kuliner bagi kaum berduit. Sungguh berita mengerikan yang membuat mual. Manusia kanibal, ya sangat primitif dan tak bermoral
menurut asas kemanusiaan. Dimana hak asasi manusia sama sekali dihapuskan demi
memenuhi nafsu kebinatangan bagi orang-orang berduit yang haus akan kenikmatan
duniawi. Tidakkah mereka pernah berfikir tentang orang lain? Tentang hak anak
itu untuk hidup atau bagaimana dengan lidah mereka? Adakah rasa mual ketika
mereka mengetahui bahwa yang mereka kunyah dan kecap saaat itu adalah bangkai
manusia?
Sumanto, seorang kanibal yang santer terdengar
beberapa tahun silam ternyata bukanlah orang pertama yang melakukan hal ekstrem
itu di era modern ini. Kemajuan teknologi tidak mutlak menjadi tolak ukur dari
perkembangan peradaban bangsa, buktinya masih banyak orang terpelajar yang
percaya pada kekuatan batu ajaib milik Ponari. Orang cerdas yang mampu membeli
pulau beserta kota yang berada di dalamnya, percaya pada cenayang tua yang
tidak tamat sekolah dasar. Masih banyak lagi
keanehan-keanehan perilaku manusia modern di zaman globalisasi ini.
Dunia
metafisika yang kadang dikait-kaitkan dalam segala aspek kehidupan membuatku
kadang mengkhayalkan tentang ruh-ruh bayi yang harus mati karena pembantaian
manusia setengah binatang ini. Mereka yang percaya pada kekuatan ghaib
seharusnya berjaga-jaga, sebab tidak
menutup kemungkinan arwah bayi-bayi yang mati dibantai itu akan menuntut balas.
Bisa jadi mereka akan menghimpun sebuah kekuatan besar untuk menggempur si
pemburu kenikmatan melalui alam tak nyata, seperti alam mimpi misalnya. Kita tidak akan
dapat menghindar lagi, karena tidur pun bagian dari alam tak nyata, otomatis arwah
penasaran itu punya kesempatan untuk mengganggu musuhnya dari alam mimpi. Mimpi
juga alam mistis yang sulit untuk dihubungkan dengan kekuatan teknologi
meskipun kadang teknologi pada ide kreatifnya berawal dari sebuah mimpi, tapi ini
masalah yang berbeda.
"Bawa
dia, bawa dia padamu Dik. Jagalah anakku, kumohon. Sayangilah anakku seperti
adikmu sendiri.” Dia menyerahkan bayi mungil itu ke dekapanku. Aku
tak kuasa membendung tangisku. Ingin aku mencegahnya, namun kedua tanganku
terbelenggu bayi mungil yang tiba-tiba harus kuakui sebagai adikku. Adik? Adik?
Apakah mungkin seorang anak tunggal yang sudah 15 tahun yatim-piatu dan hidup
bersama Oma dan Opanya yang uzur, memiliki bayi dalam keluarga mereka? Apa kata
Omaku nanti? Sedang sekarang saja
kehidupan kami sangat-sangat sederhana. Biaya les dan sekolahku saja sudah
membuat hipertensi Oma terus-terusan kambuh.
Apalagi ditambah biaya hidup seorang bayi. Susunya, pakaiannya, makannya, belum
lagi kalau dia sakit. Aduh, bisa mati berdiri aku memikirkan omelan panjang
dari Oma kelak. Begitupun, mana tega aku membiarkan anak ini disini Ya Allah, rahasia apalagi yang Engkau
Karuniakan pada kami?
"Mbak,
aku tidak bisa...” jawabku dengan suara yang parau.
“Bawalah...bawalah!
Cepat! Jangan sampai mereka melihatmu! Cepat!” desaknya. Dia menyerahkan
beberapa lembar kain batik yang lusuh dan menyelimutkannya ke bayinya. Dimasukkannya
sebuah bungkusan kecil ke dalam ranselku, lalu buru-buru mengajakku berjalan
lurus ke depan. Aku berjalan linglung. Pikiranku kacau dan dengus nafasku
semakin tak karuan. Wanita itu menyetopkan sebuah beca dayung yang sudah sedia
menunggu di simpang jalan. Dia membiarkan aku dan bayinya naik, sementara dia
berdiri mematung di jalanan. Diselipkannya selembar uang sepuluh ribuan ke
tanganku yang kaku sambil melepasku dengan mata basah.
“Cepat
jalan pak!” perintahnya pada kakek tua yang mendayung beca. Kakek itu
mengangguk, seolah pertemuan ini sudah diatur sebelumnya. Wanita tak kukenal
itu ingin mengucapkan selamat jalan kepadaku sekali lagi, namun langkahnya
terhalang ketika tiba-tiba sekelebat bayangan hitam mencuat dari lorong-lorong
yang sempit dan gelap itu.
“Pergi
yang jauh! Yang jauh!...” halaunya dengan nafas tertahan. Dia berjalan tertatih
melawan arah sambil memegangi perutnya yang mungkin masih terasa nyeri sehabis
melahirkan. Masih sempat kutangkap bayangan tubuhnya yang rapuh dan kurus itu.
Kira-kira 300 meter beca berlalu, sekelebat bayang-bayang hitam itu mulai
menampakkan dirinya. Bayang-bayang itu milik lelaki-lelaki dengan tubuh kekar
dan pakaian yang serba ketat. Seperti sehelai kertas, wanita itu cepat
berpindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain, aku tahu, dia ingin
mengaburkan pelarian kami dari tatapan beringas orang-orang itu. Aku menjerit
dalam hati mendengar suara hantaman yang keras dan bunyi-bunyi tulang yang
berderak seperti berpatahan. Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat seraya
mendekap bayi itu lebih hangat. Bayi mungil itu menggeliat manja.
www.kinamariz.com -Image Source : Adorebeauty.com.au- |
KSI Medan, 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks
ReplyDelete