www.kinamariz.com
Antilan Purba (lagi sakit parah)
|
Penyakit Kanker yang diderita beliau telah lama bersarang di tubuhnya. Tujuh tahun terakhir ini adalah masa-masa terberat. Sebelumnya, beliau tidak pernah absen mengajar ke kampus kecuali sangat sakit atau ada kepentingan yang lebih mendesak. Beliau selalu hadir dalam acara-acara diskusi sastra, penasihat aktif di beberapa komunitas sastra, juri lomba dimana-mana, sebagai pembicara di seminar-seminar sastra dan workshop kepenulisan. Beliau juga aktif menulis di media massa, jurnal, serta sedang merampungkan beberapa buku tentang pendidikan kebahasaan dan seputar dunia sastra yang hingga saat ini belum sempat diantarkan ke penerbit.
Hingga penyakitnya memasuki stadium keempat dan semakin kronis, kami mulai menyadari bahwa semester tiga lalu, adalah semester dimana kami mereguk ilmu Sastra Kontemporer untuk pertama dan terakhir kalinya dari seorang bapak sastra yang kami hormati, almarhum Antilan Purba.
www.kinamariz.com
Image Source Antilan.blogspot.com
|
Satu peristiwa yang paling penulis ingat, adalah ketika beliau mengusir seorang mahasiwa dari kelas karena tidak mau bertanya. Beliau adalah orang yang idealis dan berprinsip. Sebelum beliau mengajar, mahasiswa diwajibkan membaca buku-buku seputar mata kuliah terlebih dahulu dan sedikitnya menyiapkan dua pertanyaan setiap pertemuan. Tak satu pun luput dari perhatiannya. Dia menunjuk satu per satu mahasiswa dan memaksa mereka untuk mengeluarkan pendapat. “Biar salah, asal kau berani bicara ilmiah di kelas! Ada aku yang meluruskannya nanti!” bentaknya pada kami yang saat itu ragu-ragu bertanya.
Pak Antilan, Buku, dan Intelektualitas
Sejak kondisi penyakit beliau semakin parah dan tidak sanggup lagi berjalan jauh (pada akhir semester ganjil, tahun 2010 lalu) beliau jadi lebih banyak di rumah dan absen kemana-mana. Penulis dan kawan-kawan mahasiswa beberapa kali datang menjenguk dan berdiskusi tentang materi perkuliahan. Setiap pulang, tidak diragukan lagi, pastilah kami ditantang agar lebih “rakus” membaca. Sambil mengelap darah cair yang terus menetes dari lubang hidung kirinya, dia mencoba menjelaskan kalau kebutuhan ilmuwan pada buku adalah seperti butuhnya orang haus pada air. “Baca! Baca! Baca! Jangan malas baca kalau mau berisi!” ujarnya sambil memegang kepalanya dan mengacungkan jempol kanannya. Suaranya yang sengau akibat tonjolan besar di leher sebelah kirinya dan gendang telinga kiri yang pecah tak membuatnya goyah untuk berteriak-teriak mengobarkan semangat kami.
www.kinamariz.com
Salah satu dari sekian banyak buku tulisan beliau
|
“Mengapa bapak selalu bicara tentang buku?” suatu kali penulis bertanya penasaran. Beliau menjawabnya dengan sebuah analogi yang serius.
“Pernahkah kamu bayangkan, bagaimana bila buku tidak ada? Bagaimana kehidupan selanjutnya tanpa ada manuskrip yang mencatatnya? Tanpa ada budaya aliterasi manusia akan mati. Buku menyimpan rahasia-rahasia ilmu pengetahuan yang agung. Buku mengajarkan kita mengenal Tuhan dan memahami alam. Setiap agama punya kitab suci, bukan? Bahkan dalam Islam sendiri, wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah Iqra’ (bacalah!) Apa yang dibaca? Tentu saja alam ini beserta isinya. Bagaimana kamu bisa mengenali Tuhanmu dan membaca kesemestaan alamNya jika tidak melalui kitab-kitabNya? Orang-orang terdahulu telah mewariskan budaya aliterasi dengan bersusahpayah menuliskannya di lembar-lembar kulit binatang, di tulang-tulang hewan, di batu-batu yang halus permukaannya, serta di daun-daun kering. Saat ini, kamu hanya tinggal menikmati ilmu yang mereka wariskan. Kamu bisa melahap ilmu itu dengan praktis dan mudah, tak perlu susah payah lagi. Kamu hanya perlu meluangkan sedikit waktumu dan membuka alam pikiranmu seluas-luasnya dan seraplah ilmu itu dengan jujur…” tuturnya panjang lebar. Setelah mendapatkan wejangan berharga itu, bukannya puas, penulis malah bertanya lagi.
“Tapi pak, apa semua harus kita baca? Sementara ilmu pengetahuan ini ‘kan cukup luas. Bagaimana, apakah alam pikiran saya mampu untuk membaca semua buku-buku itu?” mendengar pertanyaan penulis, spontan beliau menepukkan tangannya dengan sangat keras dan menyuruh penulis untuk mencatat apa yang dikatakannya.
“Jangan pernah batasi dirimu ketika membaca karena alam pikiran itu Tuhan yang merancangnya. Bacalah semua ilmu itu. Jika suatu saat nanti otakmu telah berisi, maka ilmumu itu yang akan menyaring mana yang pantas kamu ikuti dan mana yang harus kamu tinggalkan.” ujarnya lagi dengan lebih semangat. “Ingat ya, kalau kuliah S1, tidurnya jam 1.
Nanti kamu kuliah S2, tidur jam 2. Kuliah S3 tidur jam 3. Tapi jangan lewat jam segitu, pokoknya baca! baca! baca!” lanjutnya sebelum menutup diskusi sore itu.
Membaca dan menuliskan apa yang telah dibaca, benarlah suatu ritual encoding dan decoding yang berat, tapi bermakna. Output dari membaca terus menerus adalah lahirnya sebuah pemikiran baru yang segar dan bermanfaat bagi kehidupan ilmu itu sendiri dan bagi semua orang. Membaca dan menulis, dua hal yang tak terpisahkan dari kegiatan ilmuwan-sastrawan, Almarhum Antilan Purba. Salut untukmu bapakku, semoga kami bisa mengamalkan nasehatmu demi menggapai cita-cita.
Selamat ulang tahun ke-53, pak. Do’a kami para siswa menyertaimu, Dosen terbaikku. Alfatihah.
(Penulis mahasiswi semester IV, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni,Universitas Negeri Medan.)
Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz
Inna lillahi wa inna ilahi rojiun. Saat kita meninggal dunia, hanya 3 yang dibawa. Yaitu doa anak yang soleh, sedekah jariyah dan ilmu yang bermanfaat. Insya Allah pak Antilan orang yang memiliki ketiganya.
ReplyDelete