www.kinamariz.com
Anak Jalanan -Image Source PotretPendudukIndonesia.blogspot.om-
|
Berkembangnya sebuah kota tidak terlepas dari perubahan arah dan orientasi masyarakatnya. Demikian pula yang terjadi pada labelisasi “Anak Jalanan” dalam tatanan masyarakat kota metropolitan. Anak jalanan menjadi bagian gelap dari sebuah gejala modernitas menuju kota yang maju. Kesenjangan kehidupan anak-anak jalanan yang erat dengan ketidakmampuan ekonomi, kebutuhan pendidikan, kriminalitas, dan hak asasi justru terjadi ketika kota mulai menyentuh peningkatan kuantitas infrastruktur dan fasilitasnya.
Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia cukup mencengangkan hasilnya. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1998, memperlihatkan bahwa anak jalanan secara nasional berjumlah ± 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian (di tahun 2000), angka tersebut berangsur-angsur mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya bertambah menjadi 3,1 juta anak. Presentasi kenaikan jumlah anak jalanan ini tentu menimbulkan pertanyaan. Jika kita merujuk angka-angka tersebut dengan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara menunjukkan realitas yang kontradiktif, dimana penanganan pemerintah terhadap pemeliharaan fakir dan anak terlantar tidak menunjukkan fokus kinerja yang maksimal.
Penanganan yang dilakukan melalui penertiban dengan cara pemaksaan, razia, dan pemberantasan dengan penangkapan, tidak akan menyelesaikan permasalahan. Pada akhirnya, anak-anak jalanan itu tetap ada dan semakin banyak berkeliaran di jalan-jalan kota. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang yang lebih komperhensif mengenai status anak jalanan ini. Benarkah ini sebuah fenomena kesenjangan sosial dari kota yang menjelma metropolitan atau justru upaya eksistensialisme dari sebuah komunitas termarginalkan yang terus bergerak?
Ada Apa dengan Kota dan Anak Jalanan?
Kategorisasi anak jalanan menurut PBB adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan untuk bekerja, bermain dan beraktivitas lain. Departemen Sosial RI (1999) memberikan pengertian tentang anak jalanan, yakni anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor, seperti ekonomi, konflik keluarga, hingga faktor budaya yang membuat mereka turun ke jalanan. Dari defenisi diatas, dapat kita bagi anak jalanan ini ke dalam 4 (empat) latar belakang anak jalan, yaitu :
- Anak jalanan yang memiliki orangtua dan masih tinggal dengan orangtuanya,
- Anak jalanan yang masih memiliki orangtua tapi tidak tinggal dengan orangtuanya,
- Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orangtua tapi masih tinggal dengan keluarganya.
- Anak jalanan yang sudah tidak memiliki orang tua dan tidak tinggal dengan keluarganya.
Setiap anak laki-laki dan perempuan yang menghabiskan lebih dari 6 (enam) jam waktunya per hari untuk bekerja atau hidup berkeliaran di jalanan dan tempat-tempat umum, sangat rentan dengan perilaku kriminal. Mengapa? Karena jalanan merupakan ruang publik yang terbuka dengan segala macam aktivitas sosial. Beraneka ragam gaya hidup dan perilaku suka-suka yang tentu ekstrim untuk dicerna pada tataran usia seorang anak yang mulai belajar dan meniru.
Anak yang seharusnya hidup dalam asuhan orang tua, bermain, dan belajar di sekolah, harus menghadapi kehidupan luar yang keras dan beresiko. Jalanan (baca:kota) memiliki resiko-resiko yang tidak mungkin ditangani dengan kematangan emosional seorang anak. Menurut Sanituti (1999), terdapat 4 (empat) klasifikasi penyebab pokok anak-anak menjadi anak jalanan yaitu :
- Kesulitan ekonomi keluarga yang menempatkan seorang anak harus membantu keluarganya mencari uang dengan kegiatan-kegiatan di jalan.
- Ketidakharmonisan rumah tangga atau keluarga, baik hubungan antara bapak dan ibu, maupun Orangtua dengan anak.
- Suasana lingkungan yang kurang mendukung untuk anak-anak menikmati kehidupan masa kanak-kanaknya termasuk suasana perselingkungan yang kadang-kadang dianggap mereka sangat monoton dan membelenggu hidupnya.
- Rayuan kenikmatan kebebasan mengatur hidup sendiri dan menikmati kehidupan lainnya yang diharapkan diperoleh sebagai anak jalanan.
Di kota-kota besar, anak jalanan berada dalam kondisi yang memperihatinkan. Perilaku kriminal seperti penindasan, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual seringkali dialami oleh anak jalanan. Adapun tindakan solutif yang dilakukan oleh pemerintah kota dinilai masih belum mampu menanggulanginya. Peraturan Daerah (Perda) tentang ketertiban umum yang diawasi Pemerintah Daerah Tingkat I dan II memiliki akses untuk merazia/menangkap siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban dan keindahan kota, seperti anak jalanan, kaum gelandangan, pengemis, PSK, dan pedagang liar.
Perda Ketertiban Umum tersebut pada akhirnya tidak memberi dampak jera terhadap kaum marginal ini. Tindakan represif itu bahkan seringkali mengundang perkelahian dan perlawanan, sehingga timbul kebencian dalam diri masyarakat marginal kepada oknum aparat negara tersebut hingga akhirnya menuai konflik hingga bentrok fisik antara aparat dan anak jalanan. Sebagaimana dilansir oleh situs berita Republika.co.id, Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Koentjoro, menilai selama ini banyak yang salah memahami persoalan anak jalanan sehingga menyebabkan kekeliruan saat mencari cara penanggulangan permasalahannya. "Penanganan anak jalanan sering tidak tepat, sehingga permasalahan sosial yang melingkupinya tidak pernah selesai bahkan cenderung terus meningkat," kata Koentjoro di Yogyakarta, Sabtu (30/06/2012). Selain itu, upaya pemerintah kota agar anak jalanan kembali pada hakikatnya sebagai anak-anak yang dipelihara oleh negara yang tercantum dalam UUD Pasal 34 ayat (2), nampaknya tidak akan tuntas apabila penanggulangan hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu saja.
Hak-hak asasi anak terlantar dan anak jalanan, sama dengan hak-hak asasi manusia pada umumnya. Ini tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun1990 tentang Pengesahan Convention on the Right of the Child (Konvensi tentang hak-hak Anak). Konvensi ini sebenarnya mendukung anak jalanan untuk mendapatkan hak-haknya secara normal, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, rekreasi dan budaya hingga perlindungan khusus.
Langkah-langkah penggratisan pendidikan yang telah dilakukan oleh sejumlah Lembaga Sosial seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sangat membantu. Seperti dibukanya sekolah non formal berpaket, Paket A untuk setara Sekolah Dasar (SD), Paket B untuk setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Paket C untuk setara Sekolah Menengah Atas (SMA) yang digratiskan bagi anak yang mendaftar sekolah. Akan tetapi upaya ini juga beresiko apabila sosialisasi program pendidikan dan jaminan kebutuhan primer (baca: makan dan uang) bagi anak jalanan tidak terpenuhi. Terbiasa hidup di jalanan dengan mengamen atau mengemis di jalan raya, dalam pemikiran praktisnya akan terasa lebih bermanfaat. Anak-anak yang pola pikirnya belum berkembang, hanya hidup dengan berorientasi 'hari ini'.
Mereka yang terbiasa dengan aktivitas motorik akan merasa jenuh jika harus bersekolah dengan porsi aktivitas kognitif yang lebih banyak dibanding motorik. Hal ini membuat mereka tidak akan nyaman belajar di sekolah. Adapun Rumah Singgah yang dibangun dan diperuntukkan bagi anak jalanan pun sangat tidak efektif dalam mengkoordinir mereka ke kehidupan layak. Keberadaan rumah singgah kadang hanya dijadikan tempat untuk berkumpulnya anak jalanan dan menjadi tempat istirahat sementara.
Fenomena Kota MetropolitanKota selaku ruang-ruang publik yang pikuk dengan aktivitas sosial, adalah lahan subur bagi tumbuhnya benih-benih anak jalanan. Bagaimana tidak? Pola hidup individualis, kesenjangan ekonomi yang kontras, dan tingkat pendidikan yang beragam, menjadi titik tolak bagi kaum minoritas untuk mengukuhkan keminorannya. Akibatnya, muncul rasa kesamaan identitas antar anak-anak yang merasa senasib di jalanan, hingga akhirnya menyatukan diri sebagai anak jalanan.
Anak-anak jalanan yang hidup/berkegiatan secara komunal, sering kali dimaknai secara negatif oleh masyarakat kota. Hal ini terlebih pada sikap anak jalanan yang terbiasa hidup tanpa aturan, tanpa norma-norma dan didikan keluarga. Meskipun ada dari beberapa anak jalanan yang masih tinggal dengan orangtua/keluarganya, namun biasanya mereka terlahir dari keluarga yang broken home. Ini mempengaruhi cara mereka untuk hidup, cara mereka berpikir, bertindak, dan berbicara. Maka, tentu saja anak jalanan tidak mungkin sama dengan anak-anak yang hidup dalam pengawasan dan perawatan orangtua dan sekolah.
Perasaan terkucil, terhina, dan lain sebagainya yang didapati anak-anak jalanan sebagai kaum yang termarginalkan di masyarakat kota, menjadikan mereka membutuhkan kebersamaan yang kokoh. Kesatuan kelompok yang didasari kesamaan nasib ini, membuka peluang pemanfaatan dengan baik oleh jejaring-jejaring mafia kejahatan, seperti kasus perdagangan manusia (trafficking), perbudakan, kekerasan fisik dan seksual, hingga ke jaringan peredaran narkoba. Anak jalanan membutuhkan perlindungan dan perhatian, tentu saja dengan prosi yang ada di psikolgis mereka. Kehidupan keras yang mengajarkan mereka untuk memilih 'bertahan' atau 'mati', sering kali disalahpahami masyarakat kota sebagai suatu gejala kriminalitas. Padahal, tidak semua anak jalanan itu kriminal. Mereka justru belajar untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain, bahkan orangtuanya yang seharusnya mengayomi kehidupan mereka.
Kota yang dijejali oleh berbagai model kehidupan praktis dan individualis, memberi kesempatan bagi anak-anak jalanan untuk hidup dan bebas berkembang, dibanding dengan alam pedesaan yang notabenenya masih erat dengan aturan, nilai, dan norma-norma masyarakat. Adat istiadat yang seharusnya ada dalam didikan lingkungan keluarga, mereka tinggalkan. Beganti dengan idelogi praktis. Eksistensialis purba, yakni siapa yang kuat, dia yang bertahan.
Anak jalanan tidak bisa disalahkan, namun mereka bisa diperbaiki. Mereka adalah bagian dari republik ini yang nantinya akan tumbuh dan bergerak di ruang yang sama dengan kita. Oleh karena itu, dibutuhkan revitalisasi pemberdayaan keterampilan-keterampilan dan potensi yang dimiliki anak jalanan. Hal ini tentu bukan hanya tanggung jawab Pemerintah Kota, Departemen Sosial, atau Lembaga Swadaya Masyarakat saja. Menanggulangi kemiskinan dan pemerataan pendidikannya, butuh dukungan dan tanggungjawab sosial dari seluruh elemen masyarakat. Bukankah mereka juga bagian dari masa depan negara?
Lantas, usaha peningkatan mutu pendidikan bagi anak jalanan tidak bisa dilakukan seperti sistem pembelajaran pada umumnya. Kita harus menilai permasalahan ini dengan jernih dan objektif karena modal pokok yang mesti dimiliki anak jalanan adalah keterampilan dan kecakapan hidup. Masalah hidupnya tidak akan tuntas bila anak jalanan diajarkan ilmu pengetahuan yang sama dengan anak-anak yang berada di sekolah formal. Kehidupan mereka adalah kebutuhan untuk hidup layak, sandang pangan yang tercukupi, hiburan yang murah dan mudah, juga rasa aman. Bila sekolah tidak dapat menjamin mereka bisa untuk melakukan hal tersebut, maka sia-sialah pembelajaran di sekolah itu.
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dan diefektifkan oleh pemerintah dalam menanggulangi problematika anak jalan, yaitu :
- Kepedulian dan Kesadaran Masyarakat. Menggugah masyarakat agar sadar, tergerak, dan peduli terhadap problematika anak jalanan akan membantu pemerintah dalam merangkul anak jalanan. Melalui pengorganisiran tindakan kolektif oleh Lembaga Sosial dan masyarakat, dapat bermanfaat untuk melakukan perubahan menuju kondisi anak jalanan yang lebih sejahtera. Bantuan-bantuan berupa aksi moril dan materil, seperti pelatihan keterampilan, workshop, dan program pendidikan khusus, sangat berarti bagi kehidupan mereka.
- Perhatian untuk Lembaga-lembaga Sosial. Pemerintah perlu mendirikan lembaga-lembaga penampung anak seperti halnya yang dilakukan LSM maupun instansi lainnya. Lembaga tersebut nantinya dapat dijadikan sebagai wadah bagi anak jalanan untuk mengasah keterampilan dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang lebih produktif dan ekonomis. Bukan sekedar fasilitas rumah singgah, namun lebih kepada jasa pelayanan dan pelatihan kecakapan hidup.
- Fasilitas Pendidikan Yang Layak. Memfasilitasi pendidikan dan keterampilan yang layak bagi anak jalanan adalah tanggung jawab pemerintah, sebagai penyelenggara negara. Jika UUD pendidikan yang menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus di alokasikan sebesar 20% dari APBN dapat terimplementasi maka negara akan mampu untuk menyediakan pendidikan gratis, sehingga dalam jangka panjang tingkat pertumbuhan anak jalanan dapat diminimalisir.
- Pencegahan Urbanisasi. Urbanisasi tentu sangat mempengaruhi jumlah pertumbuhan anak jalanan dan pemerintah harus menekan tingkat urbanisasi.
- Membuka Lapangan Kerja dan Peluang Usaha. Lapangan kerja merupakan salah satu yang paling penting dalam kehidupan sosial ekonomi, apabila pemerintah menambah lapangan keja, maka jumlah anak jalanan akan berkurang karena mereka tidak perlu bekerja di jalanan. Mereka bisa membantu orang tuanya menambah penghasilan di tempat tertantu dengan porsi yang layak dan terorganisir.
Anak jalanan adalah anak dengan rentang usia di bawah 18 tahun yang bekerja, tinggal dan beraktivitas di jalanan. Karasteristik dan usia yang beragam dari anak jalanan, menyatukan mereka dalam visi untuk hidup berkomunal. Kerasnya kehidupan kota yang menuntut persaingan hidup, uang, dan kekuasaan, membuat posisi mereka semakin tersisih dan termarginalkan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi seorang anak untuk menjadi anak jalanan yaitu :
- Ekonomi
- Keluarga
- Teman
- Lingkungan
- Keinginan untuk bebas.
- Kepedulian dan kesadaran masyarakat
- Perhatian untuk lembaga-lembaga sosial
- Fasilitas pendidikan yang layak
- Pencegahan urbanisasi
- Membuka lapangan kerja dan peluang usaha.
www.kinamariz.com
Anak PUNK -Image Source by Google.com-
|
- Aswida.2011. Kondisi Anak Jalanan di Indonesia
http://aswidhafm.blogspot.com, diakses tanggal 27 Februari 2013 - Data Jumlah Anak Jalanan Di Indonesia.2010http://berita-lampung.blogspot.com, diakses tanggal 23 Februari 2013
- Elizabeth Hall. 1983. Psychology Today, an Introduction. New York: Random House
- Epi Suhaepi.2011. Upaya Penanganan Anak Jalananhttp://pecintapena.wordpress.com, diakses tanggal 25 Februari 2013
- Lestari.2012.Persoalan Kemiskinan dan Anak Jalanan Harus Segera Diselesaikanhttp://rehsos.kemensos.go.id, diakses tanggal 20 Februari 2013
- Nurul Amelia.2012.Penanggulangan Anak Jalanan di Makassarhttp://juliettecute.blogspot.com, diakses tanggal 23 Februari 2013
- Peta Problem Anak Jalanan.2012.http://benradit.wordpress.com, diakses tanggal 20 Februari 2013
- Petunjuk Pelaksanaan Pelayanan Sosial Anak Jalanan. 2001. Jakarta : Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial.
- Psikolog : Penanganan Anak Jalanan sering Tidak Tepat.2012http://republika.co.id, diakses tanggal 27 Februari 2013
- Suharto, Edi. 2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung:Alfabeta.
- Sukardi, Dewa Ketut. 2003. Analisis Test Psikologi Dalam Penyelenggaraan Bimbingan Di Sekolah. Jakarta : Rineka Cipta.
Karya Ilmiah Yang Pernah Diperlombakan 2009-2013 :
- Relokasi dan Revitalisasi Pasar Sukaramai Dalam Pemanfaatan Lahan dan Peningkatan Penghasilan Pedagang kaki lima (2009)
- Sekolah Buat Penulis Muda (2010)
- Peranan Kekuatan Motivasi Dalam Membangun Karakter Pembelajar Yang Tangguh (2010)
- Membahasakan Bahaya MSG Dalam Camilan Anak (2010)
- Permainan Tradisional Sebagai Muatan Lokal Dalam Upaya Implementasi Ktsp Berbasis Pendidikan Karakter Di Satuan Pendidikan (2012)
Note : Karya Ilmiah ini telah memenangkan Juara Harapan II Lomba Esai Tingkat Mahasiswa, Madya Insani 2013.
Silahkan untuk berkomentar, namun ingat ya link hidup tidak diperkenankan diletak sembarangan di sini. Insya Allah saya siap kok blog walking tanpa harus nempel-nempel backlink. Ok. Thanks
ReplyDelete