www.kinamariz.com
Lake Toba -Image Sources by Google.com
|
#SakinahMenulis-Aku berjalan tersaruk-saruk keluar dari bus, mengikuti rombongan penumpang yang lain. Tak kuhiraukan betapa terik matahari siang ini membakar wajah dan lenganku yang terbuka. Sebuah ransel besar kugendong, sementara sebuah kamera digital menggelayut di leherku. Kami baru tiba di wilayah Bukit Sibaganding, saat bus Sejahtera yang kami tumpangi mogok dengan tiba-tiba. Padahal rute yang sudah kutempuh antara Medan-Parapat adalah 225 km. Artinya, aku harus menempuh jarak 3 km lagi dari bukit Sibaganding untuk tiba di kota Parapat.
“Hoi!” suara khas sang kondektur menyeru kami dari belakang. Menandakan bus sudah siap untuk melaju kembali. Aku dan puluhan penumpang lainnya berbalik kembali naik ke dalam bus dengan gembira. Buru-buru aku melompat ke dalam bus, akan tetapi 'Brakkk!' seseorang menyerobot langkahku. Kami berlomba melewati gang antar bangku penumpang yang lebarnya tak sampai setengah meter.
“Manat-manat molo mardalan,” katanya ke hadapanku.
“Bah, apa maksudnya ini? Kan aku sudah hati-hati berjalan,” pikirku. “Kamu yang menabrak aku duluan.” Balasku padanya dengan intonasi tinggi dan suara yang sengaja dibesarkan. Dalam hati, aku terkikik juga mendengar suaraku yang katanya mirip cicit burung murai, menukik-nukik dengan nada false ke arahnya. Lelaki itu tak bereaksi lagi. Dia bergeming mendengarkan omelanku. Aku duduk di kursiku dengan wajah cemberut. Sial, posisi dudukku tepat sekali menghadap ke timur wajahnya. Kulihat dia menunduk dan memamerkan senyum maafnya padaku. Aku membalasnya dengan gelengan kepala, memutar bola mataku dan menjulurkan lidah ke arahnya. Aroma perseteruan menguar sudah. Kesalnya, lagi-lagi dia tersenyum konyol.
***
"Pelabuhan Tiga Raja,” aku membaca plakat yang terpampang di dermaga kecil itu. Dua buah kapal boat berkapasitas 40 orang, terangguk-angguk dipermainkan riak danau. Wangi air danau yang segar menyaput hidungku, membakar rinduku pada Tao Toba yang lima tahun ini tak pernah kurenangi lagi. Ternyata, banyak yang sudah berubah.
“Ke Tuk-tuk, Ito?” tanyaku pada seorang laki-laki yang sedari tadi berselonjor di anjungan kapal. Sejenak, lelaki itu terkesima mendengar aksentuasi bahasaku. Selanjutnya, dia mengangguk pasti. Disambutnya tanganku dengan ramah dan membantuku naik ke kapal. Aku sengaja memilih duduk di bagian atas kapal. Selain tempatnya lebih terbuka dan luas, aku juga bisa lebih leluasa menikmati pemandangan yang disebut-sebut sebagai salah satu surga Indonesia itu.
Matahari sore belum rebah sepenuhnya di barat. Masih tersisa semburat jingga di langit untuk kunikmati bersama riak danau yang mengayun-ayun. Sambil melihat-lihat panorama, aku memanjakan mataku pada barisan bukit-bukit hijau yang tersaput awan tipis. Bukit hijau yang mengelilingi danau biru bening. Di langit, berdiri kokoh matahari jingga. Dalam khayalku, aku melihat diriku lebur diantara putih, hijau, biru dan jingga. Indah sekali. Serasa tercebur ke dalam palet yang berisi cat warna. Angin sepoi-sepoi meniup-niup tubuhku, rasanya geli dan sejuk. Aku beruntung, kapal tiba tepat waktu di anjungan hotel, artinya aku masih punya waktu untuk berenang sore ini.
Perutku benar-benar keroncongan sehabis berenang. Aku menyeruput segelas Teh Tong panas dan menyuap kepalan nasi hangat dengan menu ikan pora-pora goreng yang gurih dan lezat. Ditemani debur ombak danau yang sesekali pecah di bibir dermaga, kuhabiskan makan malamku dengan lahap. Pegawai hotel itu memberikan aku jatah makan malam yang sedikit berimbang dengan jatah makan para kuli di siang hari. Tidak masalah buatku.
“Banyak juga makannya,” seseorang menyindir dari belakangku. Aku berbalik. Wah, dasar! Ternyata suara itu milik lelaki di bus tadi siang.
“Heran, kok kamu terus ikut-ikut aku?” tanyaku sinis, sambil melemparkan tulang ikan ke piringku yang licin. Aku menatapnya kesal, tapi ia terkekeh.
“Namaku Mual.” Dia berkata sekenanya dengan pandangan lurus ke danau. Alisku bertaut mendengar namanya, (yang menurut hematku) nama ini benar-benar unik dan menggelikan. Sejurus kemudian dia memalingkan wajahnya ke arahku.
“Ise goarmu?” dia menanyakan siapa namaku. Padahal ekspresi wajahnya seolah tak mempedulikan perubahan airmukaku.
“Namaku Sandra.” jawabku sambil menahan geli mengingat namanya.
“Aku dapat jatah libur dari kantor,” Aku menjawab cepat sebelum dia bertanya lebih lanjut tentang identity card yang tergeletak di atas handuk dan kacamata renangku. "Kalau kamu?”
“Aku memang tinggal di sini.” Lelaki bernama Mual itu menatapku dengan raut gembira. Kami mulai berbincang tentang hal-hal yang ringan hingga hal yang kuanggap berat.
“Mual itu bahasa batak, artinya mata air. Mata air, sumber kehidupan.” Laki-laki bermata cokelat itu menikamkan pandangannya ke mataku. “Apa yang kau tahu tentang hidup?” dia bertanya dengan lantang kepadaku.
“Hidup itu, hm, ah, aku tak tau!” Jawabku kesal, sambil memijit kepalaku yang tiba-tiba terasa berat.
“Terlalu mudah!” dia berteriak kesal, suaranya membelah angin yang bertiup dari seberang danau. “Hidup itu bukan sesuatu yang terjadi dengan tiba-tiba. Kau mengenal hidup itu dan menjalaninya demi eksistensi kehidupan. Kau lihat Sandra, semakin banyak manusia yang terasing di buminya sendiri!” dia mencoba menjelaskan sesederhana mungkin kepadaku. Dia terlambat, aku sudah bosan bercerita tentang hidup. Aku hanya mau menjalaninya dengan santai, tak lebih. Itu saja.
“Kau tinggal di daerah mana?” tanyaku mencoba mencairkan suasana. Dia mengangguk sambil mengacungkan jarinya ke bukit-bukit hijau sebelah selatan. “Mual, bolehkan aku menikmati danau ini sendirian? Selamat malam.” aku berbalik memunggunginya. Tak kudengar langkah kaki menjauh. Dia tetap mematung menghadap danau. Wangi kayu-kayuan lembut menggelitikku untuk berbalik, namun rasa arogan mengungkungku untuk tetap pada posisiku. Kudengar dia memainkan sebuah lagu klasik dengan harmonika yang tersampit di saku kemejanya. Dia membacakan sebait puisi lama yang asing kudengar.
Diam-diam, aku memuji keberanian lelaki berkulit gelap yang mengakui dirinya sebagai mata air. Jarang kutemukan orang yang mau memahami makna hidupnya, apalagi memikirkannya. Bagiku, hidup hanyalah sebuah proses yang harus kujalani. Entah untuk apa? Entah apa tujuan akhir dari hidup ini. Yang jelas, aku terus bertumbuh, terus hidup dan berkembang biak untuk menelurkan kehidupan-kehidupan yang lain. Pertanyaan Mual tentang hidup, mengajari aku bahwa hidup bukanlah sebuah aktivitas yang akan habis dalam putaran waktu. Hidup itu akan dan memang terus terjadi, perbedaannya adalah dengan cara apa kita menjalani hidup itu sendiri. Bagaimana dengan hidup yang dimaksudkan Mual? Mengapa sulit sekali bagiku mendefinisikan hidup, padahal aku dalam keadaan hidup?
Tak berapa lama kemudian, pegawai hotel datang membereskan makan malamku di pinggir danau. Mual menatapku yang segera menjauh menuju kamar hotel yang dekat dengan tempatku makan dan berenang. Dari jendela yang menghadap danau, kulihat dia masih betah berlama-lama berendam di danau dengan harmonikanya. Di luar, malam mulai merambat.
***
Aku benar-benar menikmati hotelku. Mengunci semua pintunya dan menghempaskan tubuh penatku ke kasurnya yang empuk. Buru-buru kusambar laptop dan modem andalanku. Akupun bertransformasi ke dunia yang lain. Menjelajahi setiap sudut-sudut maya, merancang avatarku sendiri. Sesekali aku berada di room chat, memilih salah satu nama dan mulai mengobrol dengannya. Kami saling bertukar identitas dan menyebutkan posisi. Tiba-tiba handphoneku berdering, sebuah pesan tertera di layarnya.
“Jangan lupa malam ini jam 9 di Bagus Bay Cafe" -Mual-
Suara gondang dan Taganing menyambut langkah. Aku terperangah melihat ramainya turis yang menikmati tari-tarian yang dibawakan remaja perempuan di sana. Si boru panortor itu menyampirkan kain ulos di bahu kanannya. Tanpa canggung, banyak pula turis yang ikut menari bersama mereka. Aku duduk memperhatikan hiburan yang disuguhkan. Sesekali kugunakan juga kamera digitalku untuk mengabadikan moment penting itu. Konsentrasiku buyar sewaktu para panortor itu selesai menari.
Acara kemudian berganti dengan menyanyikan lagu-lagu batak. Sembilan orang lelaki keluar menuju pentas sedangkan pemain musik lainnya tetap duduk di tempatnya. Pakaian yang mereka gunakan adalah pakaian bercorak ulos. Itu bisa kulihat dari tiga warna dasar yang tercorak didalamnya, warna putih, merah dan hitam. Seorang moderator mempersilahkan mereka menyanyikan lagu untuk menghibur. Suara mereka disambut meriah oleh penonton. Semua orang berdiri, bertepuk tangan. Mataku menyapu sembilan wajah penyanyi tadi. Oh, lelaki terakhir menatapku manis. Dia Mual, pria yang menyuruhku datang.
Lelaki berambut ikal dan berkulit hitam itu menyanyi dengan sepenuh hati di panggung Cafe. Sesekali kulihat dia melempar senyum ke arahku. Aku menyahutinya dengan senyum tersimpul. Saat lagu dijeda, dia melangkah sebentar mendekatiku.
“Hai, jadi datang kemari juga?” sapanya.
“Ya, aku hanya mau menghibur diri,” jawabku sembari melihat-lihat potret para penyanyi Batak itu.
“Jadi, sampai sekarang belum tertarik mempelajari hidup?” sambung Mual.
“Aku tidak ambil pusing ah!” balasku sengit.
“Kau harus pusing, bagaimanpun masa depan bumi ada pada orang sepertimu. Lebih baik kau yang pusing sekarang dari pada anak-cucumu harus ikut-ikutan pusing karena masalah ini tak kunjung selesai.” Mual menatap aku, lagi-lagi dengan tatapannya yang menikam.
“Apa maumu?” aku mulai jengah dikuliahi oleh Mual dengan cara seperti ini.
“Berjanjilah..” dia mengatakannya dengan suara yang pelan dan samar.
“Apa? Aku harus berjanji apa?” aku penasaran menanti jawabannya.
“Berjanjilah untuk tidak menjadi orang asing di bumimu sendiri!” Mual meninggalkan aku dan bergabung dalam penyanyi yang akan tampil. Sempat kulihat bayangannya berkelebat di sorot sinar rembulan. Tawaku hampir meledak ketika kudengar petuahnya, tapi meski sejenak, perjanjianku dengan Mual tadi cukup membuat bulu romaku meremang. orang asing di bumimu sendiri. Suara itu terus menggema dalam kepalaku.
“Lagu ini kami persembahkan untuk Sandra,” tiba-tiba moderator mengeraskan volume suaranya. Aku tersentak, mataku tak menangkap bayang-bayang Mual diantara penyanyi-penyanyi itu.
“Sembilan.. bukankah sembilan?” seruku kuat-kuat.
“Ya Nak, ada apa?” tanya Inang yang kebetulan duduk disampingku.
“Itu Inang, yang di depan seharusnya ada sembilan orang.
“Mana nak?” Inang itu menghitung jumlah pemain dengan telunjuknya.
“Itu.” jawabku.
“Delapan. Dari dulu memang cuma delapan nak.”
“Hah, masa?” aku menatapnya heran dan menghitung sama-sama. Benar, hasilnya tetap delapan. Sungguh mengagetkan.
“Tadi, sedari tadi ada temanku yang bergabung menyanyi kesana!” tuturku tergagap. Inang itu menatapku heran.
“Tidak ada, dari tadi kau sendirian memotret disini.” Dia menunjuk kursi tempatku berdiri. Memang benar, tak sedikitpun taplak meja tempatku duduk, bergeser. Padahal jarak antara kursi dan bibir meja sangat dekat. Itu artinya, aku harus sedikit merusak kerapian taplak meja itu untuk berjalan keluar.
“Dia tinggal di sana, aku menunjuk bukit sebelah selatan. Inang itu terkejut, dipanggilnya seorang petugas restoran. Pegawai itu manggut-manggut mendengar bisikannya. Bulu kudukku meremang.
www.kinamariz.com
Danau Toba -Image Source En.Wikipedia.org
|
Medan, KSI 2010
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
(Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz)
No comments
Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Terima kasih.