#SakinahMenulis-Indonesia terus
berbenah memperbaiki dan membangun infrastruktur hingga meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satunya melalui Revolusi Mental, seperti yang
digaungkan dalam Nawacita Presiden RI Ir H Joko Widodo. Di zaman millenial ini,
setiap lini semakin terintegrasi dengan teknologi. Terlebih, pemerintah sedang
mengembangkan e-Government di berbagai sektor sehingga mempermudah kinerja dan
pengawasan. Solusi digital ini diharapkan mampu menunjang kualitas pelayanan
publik hingga mencapai tujuan akhir yaitu sila ke-5 dalam ideologi bangsa,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun bagaimana
kondisi di lapangan untuk menuju tujuan akhir yang mulia ini? Ternyata, setelah
penulis mengalami langsung, bertanya pada rekan dan keluarga, hingga
menanyakannya di sosial media, masih banyak yang mengeluhkan pelayanan publik
di beberapa sektor. Meski pemerintah terus-menerus melakukan perbaikan dan
pembaharuan, stigma buruk dan kekecewaan terhadap kinerja itu tetap saja
muncul. Mengapa demikian? Di sinilah penulis merasa perlu untuk menguraikannya
menjadi dua pandangan.
1. Teknologi dan Manusia Gagap
Kita akui, kinerja
manusia akan sangat terbantu dengan kehadiran teknologi. Hal-hal yang
seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu lama, bisa dikerjakan teknologi dalam
waktu ringkas, cepat, dan efisien. Kendati demikian, keberhasilan kerja
teknologi tersebut bergantung pada User
alias Penggunanya. Teknologi membutuhkan pengguna yang melek teknologi, minimal
dia bisa mempergunakan alat-alat yang tepat pada fungsinya. Celakanya,
perangkat canggih tersebut tidak dibarengi dengan SDM yang canggih juga,
sehingga menjadi percuma dan sia-sia. Alih-alih kerja semakin terbantu, manusia
yang gagap dengan teknologi malah menjadikan perangkat ini sebagai aksesoris
kerjanya supaya terlihat keren.
Contoh nyatanya
adalah fasilitas publik berupa Sekolah Negeri dengan kucuran Dana BOS yang
fantastis, namun guru masih mengajar dengan Papan Tulis dan Kapur. Belum lagi,
tak disiapkannya Infocus untuk variasi
metode pembelajaran. Kalaupun ada, perangkat tersebut terbungkus manis di ruang
Kepala Sekolah. Parahnya, banyak diantara Guru yang telah bersertifikasi malah tak
mengerti cara mengoperasikannya, apalagi mengaplikasikannya ke dalam
pembelajaran. Ini sebuah fenomena, dimana generasi tua tak mau bersinggungan
dengan teknologi, yang akhirnya merugikan kesempatan siswa dan mengecewakan Orangtua
yang berharap mendapat anaknya mendapat pendidikan terbaik sesuai zamannya.
2. Perangkat Pintar, Namun Manusia Semakin Pintar
Kecerdasan manusia
selalu mengalahkan teknologi, karena akal menusia didesain Tuhan untuk mencipta
dan merekayasa. Teknologi hanya bekerja sesuai struktur operasinya, sementara
manusia dapat bekerja dengan caranya sendiri dan tak terduga. Inilah yang
membuat semakin besar peluang manusia untuk mengakal-akali teknologi. Alih-alih
bekerja dengan teknologi agar menghasilkan pelayanan maksimal, manusia malah
kerap berlindung atas nama teknologi.
Contohnya saja fasilitas
publik berupa perpustakaan daerah ataupun kota. Dengan pembaruan infrastruktur
dan anggaran pemerintah yang cukup besar, harusnya tempat membaca dan meminjam
buku ini semakin memudahkan masyarakat berinteraksi dengan buku. Namun curhat
seorang teman, untuk mendaftar menjadi anggota perpustakaan saja butuh waktu
berhari-hari, padahal di sini sudah tersedia segala perangkat agar bisa
mendaftar dengan cepat. Bukan karena tidak bisa atau tidak ada perangkat, namun
kecenderungan manusia untuk santai bekerja, berleha-leha saat tidak ada atasan.
Sehingga hal yang harusnya bisa selesai dalam hitungan detik, tidak bisa
dikerjakan.
Alasannya simpel untuk dibuat-buat seperti "Aduh maaf, jaringan internet terputus," (padahal wifi di
Gedung tersebut aman dan tak ada masalah) atau "Tidak bisa dibuka aplikasinya. Besok saja ya, kita tunggu orang
IT-nya" sebut petugas sambil sibuk dengan Smartphonenya, (padahal aplikasi justru belum dibuka sama sekali).
Masih ingat dengan
foto yang viral saat Mudik beberapa waktu lalu, dimana di sebuah Loket Tiket
Stasiun Kereta Api, tampak penumpang yang ingin membeli tiket sudah mengantri
bagaikan ular panjang dan sesak. Mirisnya, Petugas loket yang duduk di belakang
komputer acuh tak acuh pada antrian tersebut karena ternyata dia sedang asyik
bermain game!
Pernah juga
kejadian, Ibu saya sendiri sakit gigi dan akhirnya membawa rujukan dari
Puskesmas untuk diperiksa di Rumah Sakit Umum. Sudahlah sedang sakit gigi, mengantri
dari jam 07.30 WIB pagi (rencananya supaya dapat nomor antri duluan) sampai jam
13.00 WIB namanya belum dipanggil juga. Padahal Dokter tugas dan Koas banyak
sekali berkeliaran di Poly Gigi tersebut, sementara pengantri semakin ramai dan
sesak hingga tak ada lagi tempat untuk duduk. Sebagian besar berdiri menahankan
sakit untuk diperiksa. Penasaran, Ibu saya beranjak dari kursinya dan masuk
langsung ke Poly. Ternyata mereka, (terutama Dokter tugasnya) dengan masih
berseragam dokternya, sedang asyik bertarung di game online di Laptop dengan
dokter-dokter koas lainnya. Melihat hal tersebut, Ibu saya marah besar dan
langsung melontarkan nomor antrian yang sudah ditunggunya sejak jam 07.30 WIB
pagi tadi ke depan si Dokter. Dia pun pergi dari Rumah Sakit itu dan berobat di
Klinik Praktik Dokter Gigi, meski biayanya sepuluh kali lebih mahal dari Rumah
Sakit tersebut. Teknologi ternyata menjadi bumerang saat manusia menjadi
pintar.
Demikianlah
kekecewaan terus terjadi meski perangkat terus diperbaharui. Ternyata pada
akhirnya menyisakan petunjuk bahwa Revolusi Mental adalah sebuah keharusan.
Mengubah cara pandang kita terhadap kepentingan orang lain, menekan ego dan
bekerja cepat, cerdas, dan professional menjadi tuntutan nomor satu zaman ini.
Pada akhirnya, semua
dipulangkan kepada pribadi masing-masing, karena pemerintah sudah mengupayakan
segala ragam pelatihan, pemberian insentif lebih, sertifikasi jabatan, bahkan memberikan
penghargaan terhadap pegawainya yang berprestasi. Namun masih saja, dan masih saja,
ada oknum-oknum yang tak mau merubah diri di tengah tuntutan zaman yang semakin
bersaing ini. Ada saja pihak yang merasa seragam adalah alat satu-satunya untuk
berkuasa. Selalu ada orang yang sibuk berbangga dengan jabatannya hingga lupa
menyelesaikan tugasnya, melayani masyarakat.
Lantas apa solusi
dari semua pengalaman buruk di fasilitas publik ini? Berubah atau ditinggalkan!
Ya, hemat penulis, ini saatnya kita meninggalkan pelayan publik yang bekerja
dengan orientasi atasan. Boss hadir, pekerjaan rapi. Boss melihat, datang ke
kantor menjadi tepat waktu. Datang pemeriksaan dari pusat, barulah sibuk megerjakan
laporan. Oknum dengan mental rusak semacam inilah yang mesti diberangus
keberadaannya melalui Revolusi Mental, sehingga tak ada lagi keluhan masyarakat
tentang buruknya pelayanan fasilitas publik di negara kita, Indonesia, dan
provinsi Sumatera Utara, khususnya. Laporkan oknum tersebut ke aparat yang
berwajib sehingga tingkahnya dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.
Penulis percaya,
bahwa revolusi mental bukanlah sebuah pilihan. Revolusi mental adalah keharusan
yang wajib dilakukan demi perbaikan karakter bangsa, Berkaca pada diri sendiri
dan menularkannya kepada keluarga, rekan, hingga membangun lingkungan yang
berkarakter positif, peduli dan mau berkontribusi untuk sesama.
Medan, 18/10/2018
Ditulis oleh : Sakinah Annisa Mariz, S,Pd.
Terima kasih telah mampir dan memberi komentar di blog saya. Blogwalking siap meluncur!
ReplyDelete